Senin, 14 April 2014

Dia, Malaikat untuk Ku :)



Dia tidak lain adalah tetangga ku, seorang teman yang ku kenal karena persamaan hobby. Umur ku 14 tahun saat pertama kali mengenalnya. Dia 2 tahun diatasku. Aku duduk di bangku kelas 2 SMP sedangkan dia SMA kelas 1. Dia memilki koleksi novel, dan baik sekali mau meminjamkan ku koleksinya. Aku bahkan sempat menulis “Ratu Novel” sebagai namanya di kontak HP ku.

Rumahnya tepat di belakang rumah ku, membuat ku rutin berkunjung setiap sore untuk meminjam koleksinya. Ibunya bahkan sudah hapal kalau aku yang berkunjung setiap jam 4 sore. Aku suka membaca, tetapi sayangnya aku tidak mempunyai uang jajan yang berlebih untuk membeli novel. Aku harus menabung, menyisahkan 1000 per hari untuk membeli sebuah buku. Jadilah koleksi novel ku hanya akan bertambah seiring dengan pergantian bulan.

Kunjungan rutin ku kadang hanya sebentar, mengambil buku yang akn ku pinjam lalu pergi setelah mendapatkannya, tetapi lama-lama dia sering meminta ku mampir, mengobrol. Aku tidak keberatan, lagipula kalau aku buru-buru pulang juga pasti Ibu akan menyuruhku mencuci tumpukan piring kotor bekas makan siang. Rumahnya memilki sebuah ayunan, dan kami sering mengobrol disana.

Dia sering bercerita tentang teman-temannya di sekolah, bukan menjelek-jelekkan seperti sebagian orang ketika bercerita tentang teman-temannya, sebaliknya dia selalu bercerita tentang keseruannya bersama teman-temannya. Aku senang mendengar ceritanya, cerita itu selalu terdengar menarik, aku bisa melihat kebahagiaannya ketika bercerita, aku mungkin tidak mengalaminya secara langsung, tetapi kebahagiannya selalu menular, membuat ku bersemangat untuk memilki teman-teman terbaik sepertinya.

Kami semakin dekat setiap harinya, lambat laun aku mulai membuka hati untuk nya, tidak ragu membagi cerita ku. Dia pendengar sekaligus penasihat yang baik, dia seperti seorang kakak. Memarahi ku kalau aku salah, memelukku saat aku bersedih. Dia pribadi yang amat menyenangkan, 5 tahun kami berteman dan aku tidak pernah sekalipun marah padanya.

Dia memiliki cita-cita yang sangat mulia. Dia ingin menjadi seorang dokter, bukan karena pendapatan seorang dokter yang cukup menggiurkan, tetapi karena dia hanya ingin menolong sesama, membantu menyembuhkan pasien dan melihat raut bahagia. Aku terdiam mendengar cita-citanya, mengaguminya dan berjanji akan selalu menyebut namanya dalam doa ku untuk mencapai cita-cita nya.

Satu hal yang tidak disukainya dari ku adalah kemalasan ku untuk sholat. Masa SMA ku adalah masa kelam ku, bukan karena rentetan kenakalan yang ku lakukan, aku siswi SMA seperti kebanyakan, patuh terhadap aturan. Tetapi aku membenci Tuhan, selalu enggan untuk sholat, dia selalu memarahi ku karena itu. Bertanya kenapa aku tidak pernah sholat, aku hanya menjawab karena aku sedang halangan. Tentu saja dia tidak serta merta terima, selalu bawel menasehati ku, tetapi lagi-lagi aku bebal.

Tahun pertama dia kuliah, dia memutuskan berhijab. Dia semakin gencar menasehati ku, bahkan selalu bertanya kapan aku akan memakai hijab ku. Menjelaskan dengan sabar tentang kewajiban ku sebagai seorang muslimah. Aku hanya mendengarkan, tetapi tidak benar-benar menanggapi. Aku bilang kepadanya Tuhan tidak adil, kenapa aku sholat kalau Tuhan saja tidak adil terhadapku. Dia selalu bilang Tuhan itu adil dan selalu adil.

Dia orang yang selalu sabar menghadapi ku, bahkan ketika aku marah dan meninggalkan nya pergi, dia selalu datang kembali, seperti seorang kakak, membuatku malu karena begitu manja dan seperti anak kecil. Kesabaran dan kepercayaannya kalau aku akan berubah membuahkan hasil, Tuhan menjawab doanya, memberikan ku hidayah melalui sebuah buku. Aku ingat bagaimana suara nya disebrang telpon saat aku bilang aku mau berhijab.

Dia menyemangati ku, bilang kalau semua itu ujian saat orang-orang ragu dengan keputusan ku. Dia selalu seperti malaikat, membantu ku saat terjatuh, membuat ku selalu memandang dari sisi yang berbeda, meyakini bahwa sepenuhnya Tuhan maha adil.

Dia meliki hati yang sangat mulia, selalu mau membantu orang lain. Terlahir dari keluarga yang berkecukupan tidak pernah membuatnya menjadi sombong, sebaliknya dia selalu mau berbagi dengan sesama. Aku belajar banyak darinya, mencontohnya, selalu ingin menjadi sepertinya.

Meminta seorang adik itu mudah, tetapi meminta seorang kakak itu sulit, apalagi aku yang terlahir sebagai sulung dari 2 bersaudara. Tetapi Tuhan baik sekali kepada ku, dia memberiku seorang kakak bahkan sebelum aku meminta nya, seorang kakak dengan hati yang amat mulia.

Dia selalu suka membelikan ku ini dan itu, mentraktirku. Awalnya aku senang tentu saja, tetapi lama-lama aku kesal, marah. Aku tidak ingin dia menganggapku berteman dengannya karena ada maunya, aku tidak ingin seperti itu. Tetapi dia marah saat aku menyuarakan keberatan ku. Dia bilang apakah aku benar-benar menganggapnya seorang kakak, kalau memang iya lalu apa salahnya seorang kakak yang baik kepada adiknya sendiri.

“Kalau memang kamu mau membalas budi mbak, Jadilah anak yang baik, rajinlah belajar supaya pintar dan jadi orang yang sukses. Jangan pernah tinggalin sholat, berbuat baik dengan siapa pun yang kamu kenal, jangan pernah membeda-bedakan orang lain dan buat mbak bangga” itu nasihatnya yang selalu aku ingat. Ku pegang teguh sampai detik ini.

Aku rajin belajar setelah itu, selalu semangat menelponnya, memberi kabar IP yang ku peroleh. Dia orang ketiga setelah orang tua dan nenek ku yang ingin ku lihat tersenyum bangga ketika aku berhasil nanti.

Di hari jadinya yang ke 24 ini aku belum bisa membalas budi baiknya. Hanya bisa memberi doa setulus hati agar koas nya berjalan lancar. Agar dia secepatnya menjadi seorang dokter seperti cita-citanya. Agar dia dipertemukan dengan seseorang yang akan menjadi imam yang menuntunnya menuju surga. Agar dia selalu dalam lindungan Nya dimana pun dia berada. Agar dia selalu diberi kesehatan dan rezeki untuk selalu bisa berbagi dengan sesama. Serta diberikan umur yang panjang.

Untuk dia, kakak terbaik yang pernah ku punya Norawaty Ma’as :’))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar