Oktober
2013 adalah pertama kali aku mengenal mereka, anak-anak Pulau Tegal. Bersama
Mas Paeng dan teman-teman RBAN lampung aku pertama kali mengijakan kaki di
pulau itu. Aku masih ingat bagaimana mereka masih malu-malu ketika diminta
untuk memperkenalkan diri. Ragu menyebut cita-cita, mengingat mereka yang tidak
mengenyam pendidikan formal seperti anak-anak lainnya. Tetapi kepolosan mereka
membuat ku dan teman-teman jatuh cinta. Itulah yang menjadi alasan kami
menyempatkan akhir pekan untuk datang kesana. Kadang banyak teman-teman baru dari
berbagai komunitas yang ikut meramaikan kegiatan mingguan ini, membuat ku
berkenalan dengan teman-teman baru.
Tidak
masalah apapun label komunitasnya selagi tujuan kita sama untuk berbagi,
lagipula rasanya anak-anak juga tidak peduli label mu, yang terpenting bagi
mereka adalah ada kakak-kakak yang datang dan peduli. :)
Januari
2014 itulah teakhir kali aku bertemu mereka. Hampir 3 bulan lamanya tidak
pernah bertemu kembali, bermain bersama, belajar bersama dan tertawa bersama.
Mematuhi peraturan akademik untuk mengikuti KKN selama 40 hari di Kabupaten
Mesuji membuatku tidak bisa melakukan rutinitas mingguan ku, mengunjungi Pulau
Tegal.
Tetapi
kegiatan ini terus berjalan setiap minggunya, beruntung aku mengenal Sisil, semangatnya
luar biasa, selalu mengajak teman-teman yang lain untuk menyempatkan waktu
disela-sela kesibukan. Sisil rutin memberiku kabar anak-anak selama aku mengikuti
kegiatan KKN di Mesuji. Termasuk ketika anak-anak mendapatkan bantuan baju
seragam dan peralatan sekolah dari teman-teman 1000 guru. Dia memberikan kabar
melalui SMS, WA ataupun twitter. Aku senang karena banyak yang peduli pada
anak-anak, meskipun aku tidak ada disana, menyaksikan secara langsung bahagianya
mereka.
Sisil
juga sering bertanya kapan aku bisa pulang, dia bilang bahwa anak-anak sering
bertanya kenapa aku tidak pernah ikut datang ke pulau. Pertanyaan yang sulit ku
jawab, kalau ingin jujur aku pun kangen pada anak-anak, tetapi aku tidak bisa
pulang. Lokasi desa tempat ku KKN cukup jauh, bukan aspal dan masih jalan tanah
yang kalau hujan tidak bisa dilalui kendaraan. Aku terpaksa harus memendam
rindu, berharap KKN secepatnya berakhir, bukan karena aku tidak betah, tetapi
karena aku rindu anak-anak.
4
Maret KKN berakhir, saat itu aku pikir aku bisa menemui anak-anak di tanggal 8
dan menginap disana, tetapi kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan membut
rencana ku batal. Setelah itu ada saja hal-hal yang terjadi setiap minggunya,
membuatku harus menelan kecewa. Aku masih harus memendam rindu.
10
April, aku mengirim WA ke kak Ayu, mengajaknya untuk menginap di pulau, bermain
bersama anak-anak. Tawaran ku dijawabnya dengan senang hati. Akhirnya sabtu
siang aku menjemputnya di Moka, kebetulan dia tinggal di Metro dan menumpang travel
1 jam untuk menuju Bandarlampung. Kami berbelanja beberapa bahan yang
diperlukan, kami berencana mengajak anak-anak membuat donat. Setelah semua
bahan dirasa cukup, kami berangkat menuju Pantai Ringgung sekitar pukul 4 sore,
tepat jam 5 kami bertemu Pak Nur salah satu warga pulau yang kapalnya biasa
kami tumpangi.
Sekitar
pukul setengah 6 sore kami tiba di Pulau Tegal. Aku melihat anak-anak dari
kejauhan, tengah berlarian, berkejaran juga beberapa warga yang sedang
duduk-duduk mengobrol mengisi sore hari. Anak-anak melihat kedatangan ku,
berhenti berlarian, memperhatikan namun tidak berani mendekat. Ibu-ibu menunjuk
kearah ku, dari kejauhan aku bisa mendengar nama ku disebut. Sampai kapal Pak
Nur berlabuh, mereka hanya mendekat, tetapi tidak berani menyapa.
“Oke,
jadi Riky, Herni, Hani ga ada yang mau bantuin kak Kiki bawa barang-barang ini”
kata ku menunjuk beberapa bungkusan yang ku bawa, memecah hening. Mereka
tertawa, mendekat dengan mecium tangan ku. Mereka membantu ku dan kak Ayu
membawa barang. Aku menghampiri beberapa warga yang mengobrol, mencium tangan
dan bertanya kabar. Mereka bertanya kenapa aku sudah lama tidak datang, aku
menjawab seadanya, kesibukkan kuliah jawabku. Aku pamit untuk ke tempat Pak Nur
meletakkan tas dan barang bawaan.
Aku
membawa sedikit oleh-oleh untuk warga, meminta Riky untuk menemani ku
berkeliling, membagikan. Riky dengan senang hati menerima ajakan ku, mengambil
paling banyak bagian dan memimpin jalan di depan. Aku banyak bertanya kabar
sepanjang jalan, Riky semangat bercerita bahwa dia kini sudah bersekolah lagi
setiap hari, meskipun bukan pendidikan formal tetapi dia senang.
Rumah
Hadi menjadi tujuan kedua kami, dia meminta untuk ikut, aku dengan senang hati
mempersilahkan. Kami berempat lanjut berkeliling dan sampai di rumah Aldi dan
Dayat.
“Assalamualaikum”
ucap ku.
“Kak
Kiki ya?” jawab suara dari dalam, bukannya menjawab salam ku.
“Iyaa,
bukain pintu dong Aldi” jawabku. Pintu dibuka oleh Aldi, dan apa yang ku lihat
membuat ku sempat ingin menangis. Aldi dan Dayat bermodal sebuah lampu minyak
sedang belajar, menulis sesuatu di buku tulis. Aku masih ingat, mereka berdua
adalah anak yang cukup sulit aku bujuk untuk mau belajar. Dulu bahkan Aldi dan
Hadi lebih memilih kabur untuk memancing daripada mengikuti kegiatan belajar
mingguan kami. Aku sampai harus berkejar-kejaran, membujuk dengan sabar ketika
aldi ngambek dan mengusirku dari rumahnya.
Mengobrol
sebentar dengan Ibu Aldi kemudian aku berpamitan, karena adzan Magrib hampir
berkumandang, langit hampir gelap sedangkan kami berempat tidak ada yang
membawa senter. Aldi menawarkan diri mengantar, meminta ku menunggu sebentar
karena dia mau mnyelesaikan PR nya. Selesai berpamitan dengan ibunya dia pun
ikut, membawa senter yang dipasang di kepala. Disepanjang jalan Aldi tidak
berhenti bertanya kenapa aku tidak pernah datang, bilang kalau dia sekarang
sudah tidak nakal lagi, sudah tidak pernah kabur lagi, dan bahkan semangat
belajar.
“Kak
Kiki kenapa ga pernah dateng” tanya Aldi.
“Iya
kak, saya juga nanyain sama kak Sisil” timpal Riky.
“Eh
saya mah tiap minggu geh kak nanya nya” Aldi tak mau kalah. Aku tertawa,
menjelaskan seadanya. Mereka kemudian bercerita tentang kegiatan mereka di
sekolah, juga tentang kegiatan mengaji mereka yang sudah sebulan ini terhenti.
Aku bertanya kenapa, mereka hanya menjawab bahwa ada sedikit masalah tetapi
tidak mau berbicara lebih lanjut.
Menu
makanan malam ini sayur jantung, aku tidak pernah suka makan sayur jantung
pisang, tetapi sayur jantung pisang buatan ibu ini berbeda, selalu membuat ku
ingin nambah. Ibu sendiri sudah hapal, selalu memasak sayur jantung setiap aku
menginap disana. Lepas makan malam kami berkumpul di rumah Pak Nur. Aku, Mbak
Ayu, Riky, Hani, Herni, Aldi, Hadi, Aas, Lela, Lani, dan Sinta, mengobrol,
tertawa melihat keusilan Intan. Malam sudah semakin larut, Riky dan yang lain
berpamitan pulang kerumah yang tersisa hanya Aldi. Aku bertanya kenapa dia tidak
pulang, dan katanya dia mau ikut menginap di tempat Pak Nur. Aku mengajaknya
tidur disebelahku, ku peluk tubuh kecilnya, dia tertidur dalam pelukan ku.
Esok
paginya aku terbangun oleh suara ribut di depan rumah pak Nur. Aldi sudah
pulang sebelum aku bangun. Ternyata anak-anak sudah berkumpul padahal waktu
masih menunjukan pukul 7 dan aku berjanji untuk memulai acara pukul 8. Aku pun
mandi seadanya, membawa bahan-bahan dan meminjam peralatan memasak ibu.
Anak-anak bersemangat membantu ku, kami berjalan menuju gajebo dekat sekolah,
melewati ibu-ibu yang tengah mengobrol. Berpesan kalau mereka juga ingin
mencicipi donat buatan kami.
Pagi
itu gajebo ramai sekali, semua berkumpul, tidak kurang 1 pun. Risma, Penti,
Aas, Nirmala, Herni, Hani, Maisaroh, Nopi, Ningsih, Lela, Lani, Istiqomah,
Sinta, Deni, Rohiman, Fahri, Aldi, Dayat, Wahyudi, Mawan, Riki,dan Hadi.
Awalnya aku hanya memnbuat 2 adonan, tetapi karena pernipan masih tersisa 2
bungkus aku menawarkan pada mereka apakah ada yang ingin mencoba membuat. Risma
mengangkat tangan malu-malu, aku memintanya untuk mengambil baskom dan kain
dari rumah, meminta Aas dan Penti untuk membeli bahan-bahan.Semua anak-anak
memperhatikan, berebutan untuk membantu. Setelah adonan jadi aku meminta mereka
menunggu 15 menit sampai adonan mengembang, termasuk adonan yang dibuat Risma.
Sambil
menunggu aku meminta mereka mengambil kelapa muda. Aldi dan anak laki-laki
lainnya semangat mengambil, bertanya berapa kelapa muda yang kubutuhkan,aku
menjawab 5 tetapi kaget saat mereka bergotongan membawa 14 kelapa muda. Mereka
berebutan menungkan air kelapa, mengambil buahnya, menuangkan sirup dan susu
serta mengaduknya. Mengadu padaku saat tidak diberi kesempatan untuk membatu,
aku pun mengabsen satu persatu agar semua kebagian tugas dan tanpa terasa 15
menit berlalu, adonat donat sudah mengembang.
“Oke,
jadi siapa yang mau bantu kak Kiki dan Kak Ayu buat donatnya”
“Saya!!”
mereka kompak mengangkat tangan menjawab.
“Semua
boleh bantu kakak, tapi harus cuci tangan dulu”. Mereka bergegas menuju sumur
mushola, mencuci tangan. Istiqomah dan Fahri yang paling kecil diantara yang
lain mendekati ku, malu-malu bertanya bolehkah mereka membantu. “Tentu, tapi
cuci tangan dulu” jawabku tersenyum, mereka bergegas menyusul yang lain. 119
donat dengan berbagai bentuk berhasil kami buat, ada yang kecil seperti buatan
Istiqomah dan Fahri, ada yang besar seperti buatan Aas.
“Nah
donatnya kita biarin dulu, nanti dia bakalan gede lagi, setelah cukup gede baru
kita goreng, sekarang kita urus dugannya dulu”. Setelah rasa dugan dirasa pas,
dan donatnya sudah cukup mengembang kami menuju rumah Pak Nur untuk menggoreng
donatnya.
“Donat-donat,
sebiji 5 ribu, yang udah digoreng 10 ribu” Nirmala dan Herni berpromosi di
sepanjang jalan. Ibu-ibu tertawa melihat ulah mereka. Tidak berapa lama Sisil,
Mita dan rombongan dari Yoa datang, membawa buku dan mainan untuk anak-anak.
Aku meminta yang lain menemui Sisil , berjanji kalau setelah matang aku akan ke
sekolah dan menemui mereka.
Jam
setengah 12 hujan turun dengan lebatnya, aku dibantu Kak Ayu, Penti, Risma dan
Lela mengoreng serta menyiapkan donat untuk dibawa ke sekolah, untunglah hujan
reda tepat ketika semua donat sudah digoreng. Aku memanggil anak-anak dan
teman-teman Yoa, berkupul bersama di gajebo yang telah dilapisi tikar karena
basah oleh hujan. Semua berebutan, mencicipi donat buatan mereka sendiri,
berteriak bilang enak dan ingin lagi.
Sayangnya
baik aku ataupun kak Ayu tidak ada yang sempat untuk mengambil foto kegiatan,
kami larut di dalamnya, lebih memilih merekamnya dalam ingatan sebagai sebuah
kenangan. Melihat mereka tersenyum bahagia, tertawa itu semua membayar lunas
hutang rindu ku.
Siang
harinya aku dan teman-teman yang lain berpamitan, setelah berjanji kalau aku
akan datang lagi secepatnya. Anak-anak Pulau Tegal membuatku merasa hangat
karena dicintai, mendengar kata-kata ‘i love you’ dari Wahyudi rasanya lebih
mneyenangkan dan tulus. Aku pikir 3 bulan tidak pernah datang dan banyaknya
kakak-kakak baru yang mereka kenal membuat mereka lupa pada ku, tetapi aku
keliru, mereka masih mengingatku, masih menyambutku dengan senyum yang sama.
Rindu yang sama seperti rundu ku pada mereka. Mereka selalu berhasil membuat ku
tersenyum, lupa terhadap semua kesulitan yang ada saat bersama, membuat ku
ingin selalu cepat kembali kesana. Ah Tuhan dan nikmat Mu yang mana lagi yang
hendak ku dustakan :”)
Gk ada yg bisa kutip utk skripsi w...hahaha
BalasHapusHahaha, iya ya ga ada quote nya :D cuma mau berbagi soalnya :)
BalasHapuswidih di edit dikit tampilanya gan. biar kagak polos2 amat :D
BalasHapusSaya memang (masih) polos :)
Hapus