Dia
tidak lain adalah tetangga ku, seorang teman yang ku kenal karena persamaan
hobby. Umur ku 14 tahun saat pertama kali mengenalnya. Dia 2 tahun diatasku.
Aku duduk di bangku kelas 2 SMP sedangkan dia SMA kelas 1. Dia memilki koleksi
novel, dan baik sekali mau meminjamkan ku koleksinya. Aku bahkan sempat menulis
“Ratu Novel” sebagai namanya di kontak HP ku.
Rumahnya
tepat di belakang rumah ku, membuat ku rutin berkunjung setiap sore untuk
meminjam koleksinya. Ibunya bahkan sudah hapal kalau aku yang berkunjung setiap
jam 4 sore. Aku suka membaca, tetapi sayangnya aku tidak mempunyai uang jajan
yang berlebih untuk membeli novel. Aku harus menabung, menyisahkan 1000 per
hari untuk membeli sebuah buku. Jadilah koleksi novel ku hanya akan bertambah
seiring dengan pergantian bulan.
Kunjungan
rutin ku kadang hanya sebentar, mengambil buku yang akn ku pinjam lalu pergi
setelah mendapatkannya, tetapi lama-lama dia sering meminta ku mampir,
mengobrol. Aku tidak keberatan, lagipula kalau aku buru-buru pulang juga pasti
Ibu akan menyuruhku mencuci tumpukan piring kotor bekas makan siang. Rumahnya
memilki sebuah ayunan, dan kami sering mengobrol disana.
Dia
sering bercerita tentang teman-temannya di sekolah, bukan menjelek-jelekkan
seperti sebagian orang ketika bercerita tentang teman-temannya, sebaliknya dia
selalu bercerita tentang keseruannya bersama teman-temannya. Aku senang
mendengar ceritanya, cerita itu selalu terdengar menarik, aku bisa melihat
kebahagiaannya ketika bercerita, aku mungkin tidak mengalaminya secara
langsung, tetapi kebahagiannya selalu menular, membuat ku bersemangat untuk
memilki teman-teman terbaik sepertinya.
Kami
semakin dekat setiap harinya, lambat laun aku mulai membuka hati untuk nya,
tidak ragu membagi cerita ku. Dia pendengar sekaligus penasihat yang baik, dia
seperti seorang kakak. Memarahi ku kalau aku salah, memelukku saat aku
bersedih. Dia pribadi yang amat menyenangkan, 5 tahun kami berteman dan aku
tidak pernah sekalipun marah padanya.
Dia
memiliki cita-cita yang sangat mulia. Dia ingin menjadi seorang dokter, bukan
karena pendapatan seorang dokter yang cukup menggiurkan, tetapi karena dia
hanya ingin menolong sesama, membantu menyembuhkan pasien dan melihat raut
bahagia. Aku terdiam mendengar cita-citanya, mengaguminya dan berjanji akan
selalu menyebut namanya dalam doa ku untuk mencapai cita-cita nya.
Satu
hal yang tidak disukainya dari ku adalah kemalasan ku untuk sholat. Masa SMA ku
adalah masa kelam ku, bukan karena rentetan kenakalan yang ku lakukan, aku
siswi SMA seperti kebanyakan, patuh terhadap aturan. Tetapi aku membenci Tuhan,
selalu enggan untuk sholat, dia selalu memarahi ku karena itu. Bertanya kenapa
aku tidak pernah sholat, aku hanya menjawab karena aku sedang halangan. Tentu
saja dia tidak serta merta terima, selalu bawel menasehati ku, tetapi lagi-lagi
aku bebal.
Tahun
pertama dia kuliah, dia memutuskan berhijab. Dia semakin gencar menasehati ku,
bahkan selalu bertanya kapan aku akan memakai hijab ku. Menjelaskan dengan
sabar tentang kewajiban ku sebagai seorang muslimah. Aku hanya mendengarkan,
tetapi tidak benar-benar menanggapi. Aku bilang kepadanya Tuhan tidak adil,
kenapa aku sholat kalau Tuhan saja tidak adil terhadapku. Dia selalu bilang
Tuhan itu adil dan selalu adil.
Dia
orang yang selalu sabar menghadapi ku, bahkan ketika aku marah dan meninggalkan
nya pergi, dia selalu datang kembali, seperti seorang kakak, membuatku malu
karena begitu manja dan seperti anak kecil. Kesabaran dan kepercayaannya kalau
aku akan berubah membuahkan hasil, Tuhan menjawab doanya, memberikan ku hidayah
melalui sebuah buku. Aku ingat bagaimana suara nya disebrang telpon saat aku
bilang aku mau berhijab.
Dia
menyemangati ku, bilang kalau semua itu ujian saat orang-orang ragu dengan
keputusan ku. Dia selalu seperti malaikat, membantu ku saat terjatuh, membuat
ku selalu memandang dari sisi yang berbeda, meyakini bahwa sepenuhnya Tuhan
maha adil.
Dia
meliki hati yang sangat mulia, selalu mau membantu orang lain. Terlahir dari
keluarga yang berkecukupan tidak pernah membuatnya menjadi sombong, sebaliknya
dia selalu mau berbagi dengan sesama. Aku belajar banyak darinya, mencontohnya,
selalu ingin menjadi sepertinya.
Meminta
seorang adik itu mudah, tetapi meminta seorang kakak itu sulit, apalagi aku
yang terlahir sebagai sulung dari 2 bersaudara. Tetapi Tuhan baik sekali kepada
ku, dia memberiku seorang kakak bahkan sebelum aku meminta nya, seorang kakak
dengan hati yang amat mulia.
Dia
selalu suka membelikan ku ini dan itu, mentraktirku. Awalnya aku senang tentu
saja, tetapi lama-lama aku kesal, marah. Aku tidak ingin dia menganggapku
berteman dengannya karena ada maunya, aku tidak ingin seperti itu. Tetapi dia
marah saat aku menyuarakan keberatan ku. Dia bilang apakah aku benar-benar
menganggapnya seorang kakak, kalau memang iya lalu apa salahnya seorang kakak
yang baik kepada adiknya sendiri.
“Kalau
memang kamu mau membalas budi mbak, Jadilah anak yang baik, rajinlah belajar
supaya pintar dan jadi orang yang sukses. Jangan pernah tinggalin sholat, berbuat
baik dengan siapa pun yang kamu kenal, jangan pernah membeda-bedakan orang lain
dan buat mbak bangga” itu nasihatnya yang selalu aku ingat. Ku pegang teguh
sampai detik ini.
Aku
rajin belajar setelah itu, selalu semangat menelponnya, memberi kabar IP yang
ku peroleh. Dia orang ketiga setelah orang tua dan nenek ku yang ingin ku lihat
tersenyum bangga ketika aku berhasil nanti.
Di
hari jadinya yang ke 24 ini aku belum bisa membalas budi baiknya. Hanya bisa
memberi doa setulus hati agar koas nya berjalan lancar. Agar dia secepatnya
menjadi seorang dokter seperti cita-citanya. Agar dia dipertemukan dengan
seseorang yang akan menjadi imam yang menuntunnya menuju surga. Agar dia selalu
dalam lindungan Nya dimana pun dia berada. Agar dia selalu diberi kesehatan dan
rezeki untuk selalu bisa berbagi dengan sesama. Serta diberikan umur yang
panjang.
Untuk
dia, kakak terbaik yang pernah ku punya Norawaty Ma’as :’))