Senin, 22 September 2014

Desa Paniis, Taman Jaya Ujung Kulon



Ujung Kulon daerah yang kali ini menjadi tujuan Banten Sains Day tour, dan beruntungnya kali ini saya bisa ikut berpartisipasi. Saya dan seorang teman-Alawiyah-berangkat dari Lampung hari Kamis sekitar pukul 1 siang. Kami berdua tiba di Cilogen tepat pukul 10 malam, menumpang angkot merah menuju rumah Aty. Sepanjang jalan sebenarnya kami cukup was-was, sopir angkot yang kami tumpangi berpenampilan seram belum lagi kami tidak tahu dimana persis letak rumah Aty, tetapi bermodal bismilah juga handphone yang selalu terhubung dengan Aty, akhirnya kami tiba di kediaman Aty.

Bertiga dengan Aty kami menumpang bus menuju Serang keesokkan paginya. Aty tidak ikut, dia hanya mengantarkan kami bertemu rombongan lainnya. Kak Magda, Kak Febi dan Kak Evan tengah asyik mengobrol saat kami tiba. Kak Aip dan Udin muncul bersama Kang Hendra yang akan memandu kami menuju lokasi. Saya, Alaw, Udin, Kak Magda, Kak Aip dan Kang Hendra berada dalam satu mobil, sedangkan Kak Febi dan Kak Evan dalam mobil yang terpisah.

berangkat menuju lokasi

Sekitar 30 menit perjalanan Ijal memberikan kabar bahwa kuliahnya hari ini kosong dikarenakan dosennya berhalangan hadir. Kak Aip dan Udin memaksa Ijal menyusul, kami memang kekurangan personil dan ikutnya Ijal tentu akan  sangat membantu. Kak Aip dan Ijal berdiskusi via grup WA BSD, sayangnya beberapa penghuni grup lain menganggap Kak Aip dn Ijal sedang bersandiwara, tidak ada yang percaya bahwa Ijal benar-benar masih di Cilegon dan mau menyusul. Bahkan Kak Anaz tidak berhenti mengomel di grup meminta Ijal berhenti bersandiwara, tak pelak lagi kami yang ada di mobil tertawa, teringat cerita anak gembala dan serigala. Saat anak gembala berkata jujur tentang adanya serigala tidak ada yang mempercayainya lagi, Ijal mungkin kena batunya karena pernah bersandiwara sebelumnya.

Perjalanan menuju lokasi bukanlah perjalanan yang mudah, ditengah jalan kami terpaksa berhenti karena ada saja barang yang tertinggal, membuat Kak Aip terpaksa menyetop ojek memutar balik. Jalan menuju lokasi jangan ditanya lagi, bapak sopir sukses membuat saya tidak bisa memejamkan mata setidaknya sampai ‘sumur’ batas jalanan bagus menurut Kang Hendra. Memasuki daerah Sumur menuju Taman Jaya mata kami disuguhkan dengan pertandingan bola voli, bukan cuma 1 mungkin puluhan, saya tidak benar-benar menghitung, sepertinya permainan ini menjadi hiburan paling diminati warga, karena jarak belasan meter saja kami akan kembali menemukan tontonan ini. 
lelah perjalanan terbayar melihat ini :)

Kami tiba di lokasi tepat pukul 5 sore, menginap di homestay Ikan Badut. Soal penginapan ini mungkin tidak ada salahnya saya sedikit promosi. Terbiasa dengan jamuan seadanya maka penginapan ini bisa tergolong mewah. Soal makanan jangan ditanyakan lagi, ayam, cumi dan ikan menjadi menu favorit selama kami menginap, saya sampai merindukan tempe, tahu juga mie. Tetapi air disini kurang bersahabat, dinginnya luarrr biasa dikarenakan berasal dari air terjun di gunung, dan saya mengacungkan jempol untuk kak Febi yang selalu sudah cantik saat kami baru terbangun untuk sholat Subuh. 
homestay ikan badut, rekomen sekali :D
Hari pertama kami hanya bersiap-siap, menuju pantai untuk membuat tenda yang akan digunakan besok, Udin seperti biasa mencoba menerbangkan lampion, seperti prosedur pengecekan apakah besok lampion bisa diterbangkan disana. Ijal tiba tepat pukul 9 malam, menumpang ojek dari sumur menuju lokasi. Oh ya malam itu kami bertemu Igo, dia baru duduk di kelas 4 SD, lincah bermain dipinggir pantai, dia bersemangat mengajak kak Magda bermain, Igo juga pintar berpantun, tetapi pantunnya melulu tentang cinta, dari Igo juga kami tahu bahwa pantai disana bernama Pacar Cinta.

Sabtu pagi anak-anak sudah menunggu kami, berjalan bersama menuju sekolah Taman Jaya, mereka terlihat membawa bungkusan, saya iseng bertanya, ternyata mereka menyiapkan bekal dari rumah agar tidak perlu pulang lagi dan bisa mengikuti acara sampai selesai. Tiba di sekolah ternyata sudah ramai anak-anak berkumpul, mereka malu-malu mendekat, saling dorong satu sama lain. Kak Magda berinisiatif mengajak mereka bermain dan mereka menyambut dengan semangat, kami bertiga sampai kewalahan.

Pukul 9 tepat acara dimulai, kami terpaksa mengakhiri permainan, anak-anak kelas 1-4 melanjutkan pelajaran seperti biasa, sedangkan kelas 5 dan 6 ikut acara kami. Kedatangan kami memang disambut antusias oleh bapak Kepala Desa juga kepala gugus Taman Jaya  sehingga ada 5 sekolah yang  mengirimkan 20 perwakilan muridnya.

Acara dibuka oleh kak Aip, setelah perkenalan singkat dari kami, Kak Aip membagi mereka menjadi 6 kelompok dan memilih ketua kelompok. Kak Aip meminta mereka menggambar bentuk bintang, dan menjadi menarik ketika salah seorang anak di kelompok 6 menggambar dengan benar, meskipun awalnya teman-temannya menertawai nya namun semua berganti tepuk tangan saat perwakilan setiap kelompok membuktikan sendiri bentuk bintang dengan kacamata matahari.

Sesi selanjutnya dilanjutkan oleh saya dengan materi Biologi, bermodal mikroskop amoeba milik kak Aip saya meminta mereka mengambil beberapa contoh hewan ataupun tanaman yang disekitar untuk kemudian diamati. Ada yang membawa laba-laba, belalang, semut, ulat dan bunga. Beberapa anak tertawa ketika ulat dan laba-laba bergerak saat akan diamati, ada yang takut ketika melihat bagian tubuh ulat ketika diperbesar dengan mikroskop dan ada juga yang kagum ketika melihat struktur bunga yang cantik.

Kak Magda selanjutnya melanjutkan dengan dongeng Nirino Hitam. Sejujurnya ini bagian yang paling saya tunggu, karena ini kali pertama saya menonton langsung Kak Magda mendongeng, apalagi Ari pernah semangat bercerita tentang Kak Magda. Ternyata Ari tidak berlebihan, Kak Magda memang jago mendongeng, mimik muka juga suara nya membuat membuat dongeng terasa begitu menarik. Kak Magda juga meminta saya untuk membantunya menyanyikan lagu Naik-Naik Ke Puncak Gunung. Saya sudah siap di posisi ketika Kak Magda memberikan aba-aba.

“Nah kalau kita mau ketemu Nirino kita harus naik ke puncak gunung dulu, kita nyanyi sama-sama ya, siap? Satu, dua, tiga”

“Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, hap, lalu ditangkap” nyanyi semua anak kompak, membuat saya dan Kak Magda berpandangan. Udin, Ijal dan Kak Aip terpingkal-pingkal dibuatnya. Kami sendiri tidak mengerti bagaimana lagu Naik-Naik ke Puncak Gunung bisa jadi Cicak di Dinding, tetapi demi melihat kekompakkan mereka bernyanyi kami memaklumi, kak Magda melanjutkan dongengnya meskipun masih bertanya-tanya tentang lagu ini.

Setelah beristirahat Udin melanjutkan dengan Sainstrik nya, anak- anak yang semula mengantuk karena kekenyangan kembali bersemangat ketika diminta memecahkan teka-teki. Semua bersemangat ingin mencoba, seperti ketika mengambil koin dalam air, belasan anak bergantian mencoba menggunakan berbagai alat yang disiapkan, namun selalu kurang tepat. Koin memang bisa diambil tetapi dalam keadaan basah. Ketika tebak gambar pun banyak anak yang salah menebak, beberapa kelompok bahkan ada yang ngotot kalau jawaban mereka benar, namun setelah dijelaskan kembali oleh Udin mereka tertawa. Tetapi semangat mereka yang ingin mencoba itulah yang patut diacungi jempol.

koin berhasil diambil tetapi dalam keadaan basah

Malam harinya dilanjutkan dengan Galileo Junior, kak Aip menyampaikan materi tentang astronomi, tidak hanya anak-anak yang duduk manis menonton, bahakan beberapa warga sekitar pun ikut duduk di bebatuan pinggir pantai, menyimak. Kak Aip juga sudah menyiapkan 3 teleskop untuk digunakkan. Hari itu Sabtu 6 September memang bertepatan dengan International Observe The Moon Night dan kak Aip sudah mendaftarkan diri untuk daerah Ujung Kulon. Semua anak tidak sabar untuk melihat sendiri menggunakan teleskop, Ijal dan Alaw sampai kewalahan mengatur anak-anak agar mau bersabar mengantri.



Puas mengamati bulan anak-anak kemudian diajak untuk menerbangkan lampion, setelah sebelumnya melihat pertunjukkan Udin membakar tangan, bukan mmbakar hangus tentunya. Malam itu pemilik semesta merestui kami, lampion berhasil terbang tanpa halangan. Anak-anak girang bertepuk tangan ketika melihat lampion mereka berhasil terbang tinggi, mengabaikan rasa kantuk mengingat saat itu sudah pukul 11 malam dan beberapa diantara mereka harus menempuh jarak 7 km untuk pulang kerumah.



Keesokan pagiya kami membawa beberapa buku dari Hibah Buku untuk Piknik Buku dari Rumah Buku Cilegon. Kami membawa beberapa buku cerita ke bebatuan pinggir pantai, angin sepoi-sepoi juga pemandangn pantai menjadi tempat yang nyaman untuk membaca. Jika kemarin Kak Magda yang bercerita maka kali ini kami meminta anak-anak untuk bercerita. Semula hanya Wulan yang berani maju untuk membacakan ceritanya tetapi lama-lama anak-anak tidak ragu-ragu mengajukan diri. Bahkan Imel, Eko, Ija dan beberapa anak lain mendekati saya, meminta diajarkan becerita tanpa membawa buku, melihat jumlah mereka yang cukup banyak saya pun menawarkan mereka untuk memainkan sebuah drama kecil, cerita tentang Heidi, mereka mengangguk, mengajak saya ke tempat yang sedikit tersembunyi untuk latihan, bermaksut memberi kejutan diakhir acara. Sayangnya ide itu belum bisa terlaksana karena keterbatasan waktu. 



Hari Minggu sekaligus hari terakhir disana juga diisi dengan dream triger. Kami menemukan banyak sekali cita-cita yang unik. Seperti Eko misalnya, cita-citanya ingin menjadi astronot karena ingin membuat rumah di merkurius, Kak Aip tentu menanggapinya dengan antusias, semangat menjelaskan bahwa itu bukanlah hal yang mustahil, saya sendiri ikut menyimak penjelasan Kak Aip, tertarik. Selain Eko ada lagi Imel, cita-citanya ingin menjadi penyanyi, dia bahkan menciptakan sebuah lagu, senang hati bernyanyi, lagunya tentang bintang dan dia malu-malu menyebut Kak Aip yang menginspirasinya membuat lagu itu.

Acara ditutup dengan pembagian hadiah, beberapa anak menangis karena akan berpisah, mreka memeluk, meminta berjanji bahwa besok lusa kami akan datang kembali, mau tak mau saya, Kak Magda juga Alaw ikut menangis. Bagian yang tidak diharapkan tetapi paling tidak bisa ditolak dari sebuah pertemuan adalah perpisahan.

“Kita ga boleh nangis, karena ini bukan terakhir kali kita ketemu, doakan kakak-kakaknya selalu sehat dan punya banyak rezeki jadi besok-besok bisa main dan bersenang-senang disini lagi, oke” Ucapan Kak Aip diamini oleh anak-anak, membuat beberapa anak berhenti menangis dan tersenyum. 

Kak Aip dan adiknya :D

Kami pulang pukul 7 malam dan langsung terlelap dalam perjalanan. Ujung Kulon menjadi salah satu tempat yang memiliki banyak cerita untuk dikenang bagi kami. Terima kasih untuk anak-anak yang selalu berhasil membuat kami merasa hangat karena dicintai, Terima kasih untuk Kang Hendra atas bantuannya, Kak Febi dan Kak Evan dari Lentera yang meliput perjalanan kami.

Menjawab pertanyaan kak Anaz “Bagaimana rasanya full moon without full friend?” mungkin seperti kata Kak Magda “Kita mungkin bisa jalan sendiri-sendiri, itu bukan masalah, tetapi ketika kita jalan bersama saat itulah kita merasa utuh”

Terima kasih kepada pemilik semesta yang telah mempertemukan kita :)