Ujung
Kulon daerah yang kali ini menjadi tujuan Banten Sains Day tour, dan
beruntungnya kali ini saya bisa ikut berpartisipasi. Saya dan seorang
teman-Alawiyah-berangkat dari Lampung hari Kamis sekitar pukul 1 siang. Kami
berdua tiba di Cilogen tepat pukul 10 malam, menumpang angkot merah menuju
rumah Aty. Sepanjang jalan sebenarnya kami cukup was-was, sopir angkot yang
kami tumpangi berpenampilan seram belum lagi kami tidak tahu dimana persis
letak rumah Aty, tetapi bermodal bismilah juga handphone yang selalu terhubung
dengan Aty, akhirnya kami tiba di kediaman Aty.
Bertiga
dengan Aty kami menumpang bus menuju Serang keesokkan paginya. Aty tidak ikut,
dia hanya mengantarkan kami bertemu rombongan lainnya. Kak Magda, Kak Febi dan
Kak Evan tengah asyik mengobrol saat kami tiba. Kak Aip dan Udin muncul bersama
Kang Hendra yang akan memandu kami menuju lokasi. Saya, Alaw, Udin, Kak Magda,
Kak Aip dan Kang Hendra berada dalam satu mobil, sedangkan Kak Febi dan Kak
Evan dalam mobil yang terpisah.
berangkat menuju lokasi |
Sekitar
30 menit perjalanan Ijal memberikan kabar bahwa kuliahnya hari ini kosong
dikarenakan dosennya berhalangan hadir. Kak Aip dan Udin memaksa Ijal menyusul,
kami memang kekurangan personil dan ikutnya Ijal tentu akan sangat membantu. Kak Aip dan Ijal berdiskusi
via grup WA BSD, sayangnya beberapa penghuni grup lain menganggap Kak Aip dn
Ijal sedang bersandiwara, tidak ada yang percaya bahwa Ijal benar-benar masih
di Cilegon dan mau menyusul. Bahkan Kak Anaz tidak berhenti mengomel di grup
meminta Ijal berhenti bersandiwara, tak pelak lagi kami yang ada di mobil
tertawa, teringat cerita anak gembala dan serigala. Saat anak gembala berkata
jujur tentang adanya serigala tidak ada yang mempercayainya lagi, Ijal mungkin
kena batunya karena pernah bersandiwara sebelumnya.
Perjalanan
menuju lokasi bukanlah perjalanan yang mudah, ditengah jalan kami terpaksa
berhenti karena ada saja barang yang tertinggal, membuat Kak Aip terpaksa
menyetop ojek memutar balik. Jalan menuju lokasi jangan ditanya lagi, bapak
sopir sukses membuat saya tidak bisa memejamkan mata setidaknya sampai ‘sumur’
batas jalanan bagus menurut Kang Hendra. Memasuki daerah Sumur menuju Taman
Jaya mata kami disuguhkan dengan pertandingan bola voli, bukan cuma 1 mungkin
puluhan, saya tidak benar-benar menghitung, sepertinya permainan ini menjadi
hiburan paling diminati warga, karena jarak belasan meter saja kami akan
kembali menemukan tontonan ini.
lelah perjalanan terbayar melihat ini :) |
Kami
tiba di lokasi tepat pukul 5 sore, menginap di homestay Ikan Badut. Soal
penginapan ini mungkin tidak ada salahnya saya sedikit promosi. Terbiasa dengan
jamuan seadanya maka penginapan ini bisa tergolong mewah. Soal makanan jangan
ditanyakan lagi, ayam, cumi dan ikan menjadi menu favorit selama kami menginap,
saya sampai merindukan tempe, tahu juga mie. Tetapi air disini kurang
bersahabat, dinginnya luarrr biasa dikarenakan berasal dari air terjun di
gunung, dan saya mengacungkan jempol untuk kak Febi yang selalu sudah cantik
saat kami baru terbangun untuk sholat Subuh.
homestay ikan badut, rekomen sekali :D |
Hari
pertama kami hanya bersiap-siap, menuju pantai untuk membuat tenda yang akan
digunakan besok, Udin seperti biasa mencoba menerbangkan lampion, seperti
prosedur pengecekan apakah besok lampion bisa diterbangkan disana. Ijal tiba
tepat pukul 9 malam, menumpang ojek dari sumur menuju lokasi. Oh ya malam itu
kami bertemu Igo, dia baru duduk di kelas 4 SD, lincah bermain dipinggir
pantai, dia bersemangat mengajak kak Magda bermain, Igo juga pintar berpantun,
tetapi pantunnya melulu tentang cinta, dari Igo juga kami tahu bahwa pantai
disana bernama Pacar Cinta.
Sabtu
pagi anak-anak sudah menunggu kami, berjalan bersama menuju sekolah Taman Jaya,
mereka terlihat membawa bungkusan, saya iseng bertanya, ternyata mereka
menyiapkan bekal dari rumah agar tidak perlu pulang lagi dan bisa mengikuti
acara sampai selesai. Tiba di sekolah ternyata sudah ramai anak-anak berkumpul,
mereka malu-malu mendekat, saling dorong satu sama lain. Kak Magda berinisiatif
mengajak mereka bermain dan mereka menyambut dengan semangat, kami bertiga
sampai kewalahan.
Pukul
9 tepat acara dimulai, kami terpaksa mengakhiri permainan, anak-anak kelas 1-4
melanjutkan pelajaran seperti biasa, sedangkan kelas 5 dan 6 ikut acara kami.
Kedatangan kami memang disambut antusias oleh bapak Kepala Desa juga kepala
gugus Taman Jaya sehingga ada 5 sekolah
yang mengirimkan 20 perwakilan muridnya.
Acara
dibuka oleh kak Aip, setelah perkenalan singkat dari kami, Kak Aip membagi
mereka menjadi 6 kelompok dan memilih ketua kelompok. Kak Aip meminta mereka
menggambar bentuk bintang, dan menjadi menarik ketika salah seorang anak di
kelompok 6 menggambar dengan benar, meskipun awalnya teman-temannya menertawai
nya namun semua berganti tepuk tangan saat perwakilan setiap kelompok membuktikan
sendiri bentuk bintang dengan kacamata matahari.
Sesi
selanjutnya dilanjutkan oleh saya dengan materi Biologi, bermodal mikroskop
amoeba milik kak Aip saya meminta mereka mengambil beberapa contoh hewan
ataupun tanaman yang disekitar untuk kemudian diamati. Ada yang membawa
laba-laba, belalang, semut, ulat dan bunga. Beberapa anak tertawa ketika ulat
dan laba-laba bergerak saat akan diamati, ada yang takut ketika melihat bagian
tubuh ulat ketika diperbesar dengan mikroskop dan ada juga yang kagum ketika
melihat struktur bunga yang cantik.
Kak
Magda selanjutnya melanjutkan dengan dongeng Nirino Hitam. Sejujurnya ini
bagian yang paling saya tunggu, karena ini kali pertama saya menonton langsung
Kak Magda mendongeng, apalagi Ari pernah semangat bercerita tentang Kak Magda.
Ternyata Ari tidak berlebihan, Kak Magda memang jago mendongeng, mimik muka
juga suara nya membuat membuat dongeng terasa begitu menarik. Kak Magda juga
meminta saya untuk membantunya menyanyikan lagu Naik-Naik Ke Puncak Gunung.
Saya sudah siap di posisi ketika Kak Magda memberikan aba-aba.
“Nah
kalau kita mau ketemu Nirino kita harus naik ke puncak gunung dulu, kita nyanyi
sama-sama ya, siap? Satu, dua, tiga”
“Cicak-cicak
di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, hap, lalu ditangkap”
nyanyi semua anak kompak, membuat saya dan Kak Magda berpandangan. Udin, Ijal
dan Kak Aip terpingkal-pingkal dibuatnya. Kami sendiri tidak mengerti bagaimana
lagu Naik-Naik ke Puncak Gunung bisa jadi Cicak di Dinding, tetapi demi melihat
kekompakkan mereka bernyanyi kami memaklumi, kak Magda melanjutkan dongengnya
meskipun masih bertanya-tanya tentang lagu ini.
Setelah
beristirahat Udin melanjutkan dengan Sainstrik nya, anak- anak yang semula
mengantuk karena kekenyangan kembali bersemangat ketika diminta memecahkan
teka-teki. Semua bersemangat ingin mencoba, seperti ketika mengambil koin dalam
air, belasan anak bergantian mencoba menggunakan berbagai alat yang disiapkan,
namun selalu kurang tepat. Koin memang bisa diambil tetapi dalam keadaan basah.
Ketika tebak gambar pun banyak anak yang salah menebak, beberapa kelompok
bahkan ada yang ngotot kalau jawaban mereka benar, namun setelah dijelaskan
kembali oleh Udin mereka tertawa. Tetapi semangat mereka yang ingin mencoba
itulah yang patut diacungi jempol.
koin berhasil diambil tetapi dalam keadaan basah |
Malam
harinya dilanjutkan dengan Galileo Junior, kak Aip menyampaikan materi tentang
astronomi, tidak hanya anak-anak yang duduk manis menonton, bahakan beberapa
warga sekitar pun ikut duduk di bebatuan pinggir pantai, menyimak. Kak Aip juga
sudah menyiapkan 3 teleskop untuk digunakkan. Hari itu Sabtu 6 September memang
bertepatan dengan International Observe The Moon Night dan kak Aip sudah
mendaftarkan diri untuk daerah Ujung Kulon. Semua anak tidak sabar untuk
melihat sendiri menggunakan teleskop, Ijal dan Alaw sampai kewalahan mengatur
anak-anak agar mau bersabar mengantri.
Puas mengamati bulan anak-anak kemudian diajak untuk menerbangkan lampion, setelah sebelumnya melihat pertunjukkan Udin membakar tangan, bukan mmbakar hangus tentunya. Malam itu pemilik semesta merestui kami, lampion berhasil terbang tanpa halangan. Anak-anak girang bertepuk tangan ketika melihat lampion mereka berhasil terbang tinggi, mengabaikan rasa kantuk mengingat saat itu sudah pukul 11 malam dan beberapa diantara mereka harus menempuh jarak 7 km untuk pulang kerumah.
Keesokan
pagiya kami membawa beberapa buku dari Hibah Buku untuk Piknik Buku dari Rumah
Buku Cilegon. Kami membawa beberapa buku cerita ke bebatuan pinggir pantai,
angin sepoi-sepoi juga pemandangn pantai menjadi tempat yang nyaman untuk
membaca. Jika kemarin Kak Magda yang bercerita maka kali ini kami meminta
anak-anak untuk bercerita. Semula hanya Wulan yang berani maju untuk membacakan
ceritanya tetapi lama-lama anak-anak tidak ragu-ragu mengajukan diri. Bahkan
Imel, Eko, Ija dan beberapa anak lain mendekati saya, meminta diajarkan
becerita tanpa membawa buku, melihat jumlah mereka yang cukup banyak saya pun
menawarkan mereka untuk memainkan sebuah drama kecil, cerita tentang Heidi,
mereka mengangguk, mengajak saya ke tempat yang sedikit tersembunyi untuk
latihan, bermaksut memberi kejutan diakhir acara. Sayangnya ide itu belum bisa
terlaksana karena keterbatasan waktu.
Hari
Minggu sekaligus hari terakhir disana juga diisi dengan dream triger. Kami
menemukan banyak sekali cita-cita yang unik. Seperti Eko misalnya, cita-citanya
ingin menjadi astronot karena ingin membuat rumah di merkurius, Kak Aip tentu
menanggapinya dengan antusias, semangat menjelaskan bahwa itu bukanlah hal yang
mustahil, saya sendiri ikut menyimak penjelasan Kak Aip, tertarik. Selain Eko
ada lagi Imel, cita-citanya ingin menjadi penyanyi, dia bahkan menciptakan
sebuah lagu, senang hati bernyanyi, lagunya tentang bintang dan dia malu-malu
menyebut Kak Aip yang menginspirasinya membuat lagu itu.
Acara
ditutup dengan pembagian hadiah, beberapa anak menangis karena akan berpisah,
mreka memeluk, meminta berjanji bahwa besok lusa kami akan datang kembali, mau
tak mau saya, Kak Magda juga Alaw ikut menangis. Bagian yang tidak diharapkan
tetapi paling tidak bisa ditolak dari sebuah pertemuan adalah perpisahan.
“Kita
ga boleh nangis, karena ini bukan terakhir kali kita ketemu, doakan
kakak-kakaknya selalu sehat dan punya banyak rezeki jadi besok-besok bisa main
dan bersenang-senang disini lagi, oke” Ucapan Kak Aip diamini oleh anak-anak,
membuat beberapa anak berhenti menangis dan tersenyum.
Kami
pulang pukul 7 malam dan langsung terlelap dalam perjalanan. Ujung Kulon
menjadi salah satu tempat yang memiliki banyak cerita untuk dikenang bagi kami.
Terima kasih untuk anak-anak yang selalu berhasil membuat kami merasa hangat
karena dicintai, Terima kasih untuk Kang Hendra atas bantuannya, Kak Febi dan
Kak Evan dari Lentera yang meliput perjalanan kami.
Menjawab
pertanyaan kak Anaz “Bagaimana rasanya full moon without full friend?” mungkin
seperti kata Kak Magda “Kita mungkin bisa jalan sendiri-sendiri, itu bukan
masalah, tetapi ketika kita jalan bersama saat itulah kita merasa utuh”
Aaahhh kiki iri :(( semoga bisa ikut lain kali :((
BalasHapusyuk kak ikut yang ke kediri :D
BalasHapus